Tuesday, October 4, 2011

Tiga Tujuh Lima (kisah nyata)

Hobiku musik dan sudah lumayan bisa main gitar, lah, walaupun sedikit-sedikit. Aku juga udah mulai main band sejak kelas dua SMP. Sebelumnya, aku dibelikan sebuah gitar tua second oleh ayahku. Tahukah kalian berapa harga sebuah gitar tua yang hampir jebol itu? Hanya untuk tiga bungkus rokok waktu itu, sepuluh ribu rupiah. Gitar itu memang sudah tua, tapi mereknya YAMAHA. Bagian belakangnya sudah tak keruan. Ayahku membawanya ke bengkel gitar bernama Pok Odeng (terkenal di Cirebon). Di sana, total biaya untuk mempercantik gitar itu adalah tiga puluh lima ribu rupiah. Hasilnya, lebih bagus dari yang kukira. Mirip gitar seharga ratusan ribu rupiah. Suaranya? Berani diadu. Itulah perkenalanku dengan musik, gitar, dan band. Selanjutnya, banyak nama yang berperan sebagai guru gitarku… A Ucup (kakak sepupuku), Faisal Nur (teman SMP-ku), dan lainnya.
Beranjak ke SMA, aku sering menciptakan lagu. Kemudian, lagu yang selesai kucipta itu kuperdengarkan ke teman-teman sekelas yang juga teman satu bandku. Di antara mereka, ada salah satu yang punya tape recorder yang biasa dibawa oleh wartawan saat itu. Mereknya SONY, bentuknya kecil karena memakai kaset kecil. Ketika aku katakan pada teman-temanku, yang punya tape recorder itu meminjamkannya dengan senang hati padaku. Esoknya, kita mendengarkannya bersama, kemudian di-ulik di studio musik. Meski demikian, aku malu juga terus-terusan meminjam. Aku kepengin punya juga.
Kukatakan keinginanku itu kepada ibuku tercinta. Karena biasanya, rengekanku lebih dituruti oleh ibuku dibanding bapakku. Beberapa hari kemudian, ketika ibuku sedang senggang, siang itu aku dan beliau berangkat berjalan kaki ke sebuah toko elektronik. Panas matahari menyengat semangatku. Senang sekali hatiku. Akhirnya aku bakalan punya barang hebat itu. (dulu belum ada HP yang bisa merekam suara). Sebenarnya bukan ke sebuah toko, tapi ke toko-toko elektronik di sepanjang jalan Pekiringan, Cirebon. Maklum barang itu agak sedikit langka.
Akhirnya, di sebuah toko, kami mendapatkannya. Si majikan Tiong Hwa menyuruh pelayan mengambilkannya. Senang sekali hatiku ketika si pelayan itu membuka kotaknya dan mengambil benda itu. Aku tahu betul ibuku juga pasti bahagia. Dia bakalan merelakan apa saja asal aku bahagia.
“Ini berapa, Ci?” tanya ibuku langsung ke majikannya.
“Tiga tujuh lima. Harga pas, Bu.”
“Wah murah sekali,” pikirku dan ibuku di dalam hati secara bersamaan. Aku bisa merasakan dari ekspresi dan senyumnya.
“Ya, udah, Ci. Nih uangnya.” Ibuku memberikan satu lembar uang dua puluh ribuan dan dua lembar uang sepuluh ribuan kepada si pelayan. Dan, menunggu kembalian sebesar dua ribu lima ratus yang masih bisa dibelikan bakso atau naik becak di zaman itu.
Si pelayan kemudian memberikan uang itu kepada majikannya yang juga sibuk bernegoisasi dengan pembeli lain. Sambil menunggu dibungkuskan, aku melirik mereknya. Ah, sama dengan milik temanku. Semakin berjingkrak-jingkrak saja hatiku.
Tapi, hal yang tak akan pernah aku lupakan baru saja akan terjadi. Apa itu?
Si majikan, ketika si pelayan hendak memberikan uang Rp. 37.500,-, dengan ekspresi acuh dan nada keras berkata pada kami, “Tiga tujuh lima. Tiga ratus tujuh puluh lima ribu.”
“Hah, tiga ratusan ya, Ci,” kata ibuku resah tak berani memandangku.”
Aku hampir menangis. Tapi aku tahu, itu harga memang terlalu tinggi. Kutahan perasaanku dan tertawa seperti sedang menonton lawak. Tapi, ibuku yang gigih tahu aku pura-pura. Beliau bilang, “Ci, ada merek lain nggak yang lebih murah.”
Tak ada dan kami tak jadi membelinya. Kemudian, kami pulang. Menceritakannya pada ayahku sambil tersenyum dan sesekali tertawa. Senyum dan tawa kami masing-masing punya arti. Aku tak akan pernah melupakannya.

No comments: